Entri Populer

Rabu, 20 Maret 2013

Problematika umat Islam di Aceh

BANDA ACEH – Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh, Drs H Ibnu Sa’dan MPd menyebutkan setidaknya ada 7 hal yang menjadi problematika dan tantangan bagi umat muslim di Aceh saat ini. Pengaruh budaya luar yang tidak diimbangi dengan peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT menjadi faktor utama dari timbulnya problematika umat ini.

“Kita memang harus mengikuti perkembangan zaman, tapi kita perlu memperkuat kapasitas umat agar perkembangan informasi dan teknologi ini bisa menjadi energi positif,” kata Ibnu Sa’dan dalam pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kopi Luwak, Jeulingke, Rabu (20/03/2013) malam.

Ibnu Sa’dan hadir dalam pengajian KWPSI bersama Kasubbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh, Akhyar, serta Kepala Seksi Kepenyuluhan Said Khuwailid.

Pengajian yang dimoderatori oleh Ketua IKADI Banda Aceh, Tgk Mulyadi Nurdin Lc MH, diikuti oleh kalangan wartawan, dosen IAIN Ar-Raniry, Hasan Basri M Nur dan Kamaruddin, Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Aceh, Safaruddin SH, Direktur Baitul Arqam, H Zul Anshary Lc, kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A Hamid, Koordinator Masyarakat Informasi Teknologi (MIT), Teuku Farhan, aktivis santri, Teuku Zulkhairi, pengusaha, dan mahasiswa.

Ibnu Sa’dan menyebutkan, ketujuh problematika yang dihadapi umat Islam Aceh saat ini adalah; Pertama, krisisnya kepemimpinan umat. “Syukurnya, di saat umat Islam di Aceh sedang krisis kepemimpinan yang punya komitmen kuat terhadap nilai-nilai Islam, Gubernur Aceh dr H Zaini Abdullah menegaskan komitmennya untuk mengawal implementasi syariat Islam dari serangan pihak luar. Penegasan ini sudah disampaikan Gubernur dalam seminar Islam Internasional di Lhokseumawe beberapa hari lalu,” ujarnya.

Problematika kedua, sebut Ibnu Sa’dan, adalah maraknya gerakan pemurtadan (gazwul fikri) dan aliran sesat di beberapa wilayah di Aceh. Dari investigasi dan data yang diperoleh jajaran Kemenag Aceh, beberapa gerakan ini memboncengi bantuan sosial sosial dan pemberian beasiswa dengan membawa misi tertentu.

“Saat ini kita sedang menghadapi perang urat saraf yang menyerang berbagai sendi kehidupan masyarakat. Bahkan beberapa hari lalu, kita dikagetkan dengan adanya berita tentang arisan berhadiah laki-laki muda. Saya pikir ini adalah imbas dari budaya luar yang harus dilawan bersama-sama,” ujarnya.

Ketiga, umat Islam di Aceh saat ini sedang menghadapi pertarungan ideologi. Pertarungan ini ditandai dengan semakin kuatnya pengaruh paham sosialis, kapitalis, sekuler, dan lain-lain dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh kasus ini adalah penghinaan agama Islam oleh seorang dosen melalui jejaring media sosial, yang sempat menghebohkan karena adanya penentangan dari kaum santri.

Keempat, imprealisme kultural atau penjajahan budaya. “Dalam hal ini, guru kita Profesor Dr Muslim Ibrahim MA mengatakan bahwa Aceh sedang mengalami pertukaran nilai. Bukan perubahan nilai, tapi pertukaran nilai. Salah satu buktinya adalah ketika masyarakat Aceh mulai mengukur kesuksesan seseorang dengan dengan harta, pangkat, dan jabatan, bukan lagi dengan ilmu pengetahuan dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama,” ujarnya.

“Kita masih ingat, anak-anak begitu hormat kepada ibu dan ayah. Atau bagaimana dulu kita begitu hormat kepada guru. Tapi sekarang budaya itu sudah mulai menghilang. Bahkan ketika ada seorang ayah memimpin keluarganya untuk berdoa sebelum makan di restoran, sampai-sampai ada yang bilang ‘itu anak TK sedang berdoa’,” imbuh Ibnu Sa’dan.

Problematika kelima, adalah gerakan feminisme atau gerakan HAM versi barat yang sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. “Dalam hal ini, kami melihat ada semacam gerakan mafia yang ingin mengacaukan pendidikan di dayah dan pesantren. Imbasnya, guru di dayah kerap mengalami kesulitan saat ingin menegakkan disiplin kepada anak didiknya,” ujarnya.

Keenam, umat Islam di Aceh saat ini miskin kepemilikan terhadap sarana teknologi dan informasi. Sedangkan problematika ketujuh adalah belum optimalnya penertiban makanan halal dan sehat dalam masyarakat.

“Yang terakhir ini menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan semua elemen masyarakat Aceh. Kita harus memastikan bahwa anak-anak kita mendapatkan makanan yang halal dan sehat, terutama ketika membeli jajanan di sekolah. Sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang sehat dan Islami,” ujarnya.

Untuk yang terakhir ini, peserta menyarankan Kanwil Kemenag Aceh menginisiasi hadirnya lembaga konsumen berbasis syariah. “Insya Allah, kita akan segera melakukan koordinasi dengan MPU, BPPOM, Dinas Syariat Islam, dan lembaga terakait lainnya untuk mencari solusi terhadap persoalan ini,” ungkap Ibnu Sa’dan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar