Entri Populer

Sabtu, 30 Maret 2013

Tragedi moral di Nanggroe syariat



Minggu, 31 Maret 2013 08:46 WIB
Oleh Hanif Sofyan

Dalam bulan Februari-Maret ini saja, setidaknya kita sudah disuguhi beberapa pernyataan serius terkait kasus seks bebas. Enam warga Aceh positif HIV AIDS yang penyebab utamanya adalah seks bebas (Serambi, 28 Februari), Seks Bebas di Aceh Serius (Serambi, 4 Maret), Arisan Berhadiah Lelaki Muda (Serambi, 5 Maret) dan Seks Bebas Rambah Banda Aceh (Serambi, 21 Maret), yang dinyatakan langsung oleh Wakil Wali Kota Banda Aceh.

Bagi banyak pihak informasi itu bukan sesuatu yang baru. Sudah sejak lama desas-desus tentang kebebasan seks menyeruak dalam keseharian kita. Kasusnya bermunculan satu per satu tanpa ekspose khusus, dan hanya menjadi muatan berita media, sebagai opini dan berita. Kampus menjadi sorotan utama terkait persoalan ini, mengingat komunitas terbesarnya adalah para mahasiswa yang berusia muda dan tinggal di perumahan kos yang terkadang lost control dan menjadi ruang paling mudah tumbuhnya fenomena ini. Dulu kita santer mendengar tentang “Ayam Kampus”, sempat menjadi berita panas, kemudian menghilang seperti laiknya kasus seksual biasa. Kemudian disusul dengan pemberitaan hangat, mini cafe di pinggiran jalan sebagai media transaksi seks yang dilanjutkan dengan janji temu di losmen dan hotel di seputaran kota. Kasus ini juga sempat menjadi menu di sebuah televisi swasta. Berita ini telah ditindaklanjuti oleh Pemkot dengan pembatasan jam operasi cafe, dan kasusnya kemudian menghilang, lalu basi.

Sesungguhnya modus dari free seks itu terus bertumbuh, berubah dan bertambah, makin canggih, makin halus, dan makin tak terdeteksi karena muda-mudi makin “profesional” dalam mengolah bentuk hubungan itu. Mereka menggunakan kendaraan roda empat, janji ketemuan, dan kemudian bertemu di tujuan yang tak dicurigai umum. Lokasi operandi tak lagi melulu di hotel atau losmen, tempat yang paling sering dirazia. Kini mulai beralih ke perumahan, sehingga makin tak terdeteksi. Karena selihai-lihai penjaga keamanan, pencuri tentunya lebih lihai dalam mengelabui kejahatannya. Dan ini dilakukan secara berjamaah. Berdasarkan hasil sebuah penelitian di tahun 2011 saja, ternyata 6,42% seks bebas dilakukan oleh remaja SMA, 12,02% oleh mahasiswa. Penelitian itu juga menyebut 90% siswa terbiasa dengan blue film dan 15%-nya menyatakannya sebagai kebutuhan (Serambi, 5 Maret). Kekuatiran membesar dengan blow up pemberitaan di beberapa media. Selama kurun Februari hingga Maret saja, tak kurang dari 5 kasus besar tersangkut soal free seks. Dan yang sesungguhnya memprihatinkan kita adalah, karena seperti dalam banyak kasus lain yang berbeda, satu kasus yang muncul ke permukaan adalah bagian dari ratusan dan ribuan kasus serupa yang tak terekspose. Ini adalah ice berg, puncak gunung es persoalan kita.

Mau tak mau ketika kita mulai membicarakan sesuatu di Aceh, apalagi tentang runtuhnya moral, kita pasti akan menyentuh bahasan pada sisi syariah yang dikonfrontir dengan setiap persoalan yang muncul. Karena syariah adalah sebuah patron, rumus yang digadang mampu mencegah yang mungkar karena perspektifnya agamis, padahal di sinilah tantangan terbesarnya. Makin kaffah kita bersyariah, makin tinggi ekspektasi orang, membandingkannya dengan daerah lain, yang tidak memberlakukan sistem ini.

Ukuran-ukuran atau parameter keislaman dan kesyariatan menjadikan persoalan yang kelihatan sederhana jadi lebih rumit. Bayangkan dari satu sisi saja, dengan meningkatnya jumlah program keagamaan, seperti program Beut Ba’da Magrib, diberlakukannya kebijakan seperti Larangan Duduk Mengangkang, ditambah lagi jumlah sarana ibadah, namun tidak pararel dan signifikan dengan penambahan jumlah jamaah di masjid setiap waktu shalat dan di waktu-waktu lain. Kelompok yang memanfaatkan masjid justru terlihat eksklusif, dan penerima pesan dakwah adalah kelompok yang homogen, jamaah masjid yang sama dari waktu ke waktu. Kelompok yang menyiarkan dan memakmurkan masjid dikesankan menjadi kelompok “jadul”. Ini tidak berangkat dari sesuatu yang pesimistis, apalagi merendahkan, tapi inilah realitas kekinian zaman.

Kita bisa berkaca dalam meneropong kasus besar dengan melihat potret keseharian kita. Persoalan sederhana cara berpakaian yang katanya makin modis, trendi, up to date; model pergaulan cipika-cipika yang tak lagi menjadi pemandangan aneh. Banyak komunitas tertentu atau kelompok yang tidak lagi mengindahkan aturan muhrim-muhriman. Sekolah menjadi komunitas yang saat ini melahirkan sikap permisif terhadap model pergaulan bebas. Meskipun ada pemberlakuan pemisahan murid perempuan dan laki-laki saat jam belajar, justru berpeluang “mengobarkan semangat untuk berintim-intim di jam istirahat.”

Namun, semua fenomena itu bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Pascatsunami semuanya masuk seperti air bah tak terbendung bersama masuknya bala bantuan bencana. Dan hari ini kita menemukan dua hal pascatsunami. Pertama, berkah bantuan yang tak terkira yang mengubah Aceh berwajah manis metropolis. Kedua, ada wajah muram, nakal, berupa kejahatan lain yang ikut sebagai dampak pertumbuhan kota baru. Mall bertambah meriah, kendaraan memenuhi jalanan, ruang parkir makin sempit dan semrawut dan jalanan macet tiba-tiba menjadi menu tambahan kota. Komunikasi nirkabel, transportasi cepat, memungkinkan semua berpindah dalam kedipan mata. Dan tak ada yang dapat menyanggah bahwa praktik yang sedang terjadi di ibukota sebagai pusat segala macam masuknya budaya, sedang diadopsi pelan namun pasti, dalam kadar yang berbeda. Jika sebelumnya praktik asusila tersembunyi, kini lebih eksklusif. Pejabat, politikus, hingga orang awam memanfaatkan, cafe, hotel sebagai mediumnya. Janji bertemu bisa dilakukan lewat handpone, via lesehan di cafe, tidak seperti dulu harus face to face untuk booking-an. Dengan sistem yang canggih, penjahat bisa mengakali polisi dengan cara yang lebih lihai, konon lagi jika pemainnya mereka sendiri. Satu-satunya yang tidak bisa dikibuli oleh mata dan hati kita hanyalah malaikat Atid dan Raqib, penjaga hati kita, dan Tuhan yang mengawasi manusia bahkan untuk setiap daun yang luruh dari tiap pohon di seluruh alam semesta. Namun ukuran itu barangkali terlalu melangit dan abstrak bagi pelaku maksiat yang berprinsip, “Muda foya-foya, tua masuk syurga.”

Tuhan tetap ada di hati kita, dalam darah kita seperti doa yang selau kita panjatnya setiap harinya. Namun, runtuhnya “rasa memilikiTuhan” dalam hati kita menjadi pemicu utama hilangnya arah dan tujuan hidup kita hari ini. Pendekatan agama menjadi sesuatu yang tidak “indah” dan “jadul” banyak para pelaku maksiat. Dengan apa pun kemasannya, isu agama tetap menjadi barang yang tidak terbeli meskipun kita melakukannya dengan sistem cuci gudang, beli satu gratis lima. Momentum agama hanya menjadi komoditas pada momentum tertentu, ketika Ramadhan, ketika hari raya, dan ketika kematian menjelang. Saat itu kita tiba-tiba teringat ternyata masih punya Tuhan, masih punya sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kelak setelah kehidupan dan kematian. Setelahnya kita lupa lagi! Barangkali kita butuh sustainable tsunami, untuk setiap kali mengingatkan kadar moralitas, seperti diungkap halus dalam hadih maja, “Meudoa watee sakeet, Meurateb watee gempa.” Itulah kebutuhan kita akan Tuhan hari ini.

Satu-satunya harapan kita adalah bahwa kita masih bersandar pada syariah, dengan hukum Allah yang tidak dapat dijustifikasi karena kebenarannya yang hakiki. Berikutnya adalah keluarga, dengan kualitas pertemuan, memanfaatkan momen sesederhana makan bersama, shalat berjamaah untuk mengantar dan membimbing anak-anak sebagai titipan Tuhan yang kelak akan dipertanggungjawabkan.

Lalu berharap para pemimpin kita tak hanya menjadikan syariah sebagai pencitraan, namun dengan kekuasaannya yang besar dapat melakukan intervensi untuk semua jenis kebaikan. Melakukan langkah proaktif bukan reaktif, terhadap kemunculan berbagai persoalan. Dan dalam perspektif yang luas, menjadikan Aceh sebagai negeri Islami dan madani.

Almarhum Prof Dr Safwan Idris MA pernah mengatakan, “Islam itu bukan simbolitas, Islam tidak terletak pada besarnya surban, tingginya peci, tertutupnya aurat seluruh badan, tetapi Islam itu adalah pengamalan secara kaffah. Sangat bagus jika pengamalannya sampai pada tahap seseorang dapat memakai simbol-simbol, tetapi intinya bukan di sana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar