Entri Populer

Rabu, 20 Maret 2013

Pengertian ilmu politik

Tidak mudah memang mengkonstruksikan kata-kata penjelasan dari cakupan ilmu politik. Argumentasinya harus melalui proses pemahaman mendalam dalam memberikan ulasannya baru terkonstruk pada sebuah pandangan pemikiran. Tentunya basis pemikirannya terletak, bagaimana memahami sejarah perpolitikan serta mempelajari dari pemikiran para ahli ilmu politik. Berdasarkan pondasi itulah kita bisa mendalami cakupan dari ilmu politik itu sendiri. Tulisan ini bagian dari tanggung jawab kemanusia memberikan informasi kepada publik akan pemahaman ilmu politik. Dasar pemikiran penulis gunakan sebagai rujukan menulis terdiri dari David Marsh&Gerry Stoker, Henry J.Schmandt, dan Ramlan Surbakti.

Mari mencoba memulai dari historis kemunculan ilmu politik berawal dari Yunani kuno. Sebab di Yunani kuno telah mempraktekan politik melalui yang namanya demokrasi. Dimana nilai – nilai kebebasan manusia, keadilan, dan nasib individu diakui. Pemahaman berdemokrasi tidak terlepas dari ide-ide berdialektika para filsuf, salah satunya Aristoteles. Pemikirannya mengatakan manusia sejak lahir sudah berpolitik (man is by nature a political animal), tergantung dimensinya saja. Tidak sampai disitu saja perbedaan epistemology klasik memahami politik, Plato gurunya Aristoteles memberikan sedikit perbedaan, dimana berbicara politik tidak terlepas dari polis ideal yang didasarkan atas suatu model yang jauh melampaui dunia empiris dan historis.

Seiring kemajuan berpikir dan tindakan politik manusia. Pada abad ke 20 politik itu sendiri di artikan makin sempit, bila dibandingkan dengan pemahaman orang – orang Yunani kuno. Montesquieu (1689 – 1755), yang mengemuka bahwa semua fungsi pemerintahan dapat di masukan dalam klasifikasi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Disinilah gerakan politik berdemokratisasi menjadi lebih terarah sistem yang diterapkan.

Ternyata posisi ilmu politik belum mendapatkan pengakuan dari para pemikir berbasiskan angka dan keilmiahan. Dasarnya ilmu politik tidak menggunakan atau menerapkan proses ke ilmiah yang tepat dan akurat. Maka di labelisasikan bahwa, ilmu politik dimasukan dalam kelompok “humaniora”. Pelabelan tersebut, mendapatkan bantahan keras dari para ilmuwan politik yang menjelaskan ilmu sosial ataupun ilmu pasti, seperti fisika maupun matematika tidak dapat berurusan dengan sejumlah besar orang dalam suatu lingkungan yang tidak terkontrol. Ditambah lagi dengan masing-masing individu boleh bertingkah laku menurut kehendaknya. Menilai relasi ilmu politik dengan ilmu – ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi, hukum, dll. Letaknya pada mengukur perilaku atau tindakan manusianya yang tidak bisa di prediksikan. Selain daripada itu menilai dampak perubahan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Namun demikian para ilmuwan politik akhirnya menarik garis yang lebih tajam antara fisalfat politik dan teori politik yang dimaksud adalah jelas untuk membuat ilmu politik seilmiah mungkin. Makin membuat pikiran kita tergonjang lagi, manakala pikiran kita harus menganalisis dalam menentukan ukuran atau batasan keilmiahan dari ilmu politik? bagaimana dengan benturan dari pemikiran lain yang membuat gap dari ilmu politik itu sendiri? Sejauhmana kontribusi para ilmuan politik memberikan perubahan bagi sebuah negera atau pemerintah? Pertanyaan itu menjadi debatable bila di nilai dari sudut pandang tertentu. Apalagi pemahaman politik sendiri masih menjadi perdebatan yang hingga kini belum usai. Perdebatan yang dimaksudkan yaitu menentukan defenisi kongkrit dari ilmu politik.

Setiap perkembangan ilmu politik akan dibarengi dengan tingkat pemikiran seseorang memahami perpolitikan, situasi perpolitikan, serta proses dialektika. Intinya ilmu politik tidak statis, akan tetapi mengalami dinamika – dinamika berpikir dalam menyelesaiakan masalah – masalah perpolitik maupun tindakan politik yang akan dilakukan. Tindakan politik itu wujudnya adalah memperoleh kekuasaan.
Untuk memahami kekuasaan secara tuntas tergantung dari dimensi kekuasaan apa yang dipilihnya.

Ramlan Surbakti (2010:75) membaginya menjadi enam dimensi, yaitu potensial dan aktual, positif dan negatif, konsesus dan paksaan, jabatan dan pribadi, implicit dan eksplisit, dan langsung dan tidak langsung. Kalau Ramlan menilai kekuasaan politik dari sudut pandang dimensi. Maka David Marsh & Gerry Stoker mendudukan cara berpikir memahami ilmu politik yang terbagi menjadi 6 pendekatan berpikir, pertama behaviorisme, kedua rasional, ketiga institusionalisme, keempat feminisme, kelima interpretif, dan keenam normative.

Setelah memahami posisi ilmu politik, lalu tersirat pertanyaan mendasar apa sebenarnya tujuan dari ilmu politi itu? Henry J Schmandt (2009:8) tujuan ilmu politik bukanlah pengetahuan melainkan tindakan. Berujuk pada pemahaman Henry bisa di simpulkan tindakan bebas dan sukarela manusia menentukan arah perpolitikan. Harfiahnya tujuan dari ilmu politik membangun tata kelola negara ataupun pemerintahan yang kuat secara kelembagaan, fungsi dan peran, distribusi kekuasaan dan pembangunan yang sensitive conflict, aktor – aktor representative yang berkomitmen dan bertanggung jawab pada amanah yang diamanatkannya. Bahasa sederhananya tujuan ilmu politik memberikan cara dalam bernegara yang baik.

Realitasnya ilmu politik tidak di jadikan aplikasikan dengan serius dalam merealisasikan dan memperjuangkan hak-hak dasar rakyat. Malahan para aktor intermediary menjadi pelaku dalam memarginalkan hak rakyat, dimana lebih mendahulukan kepentingan personal, kelompok, ataupun organisasinya sendiri. Tidaklah salah anggapan rakyat terhadap perpolitikan, yang mana politik itu kotor, penuh kekacauan, memunculkan masalah bahkan terkesan melenceng dari ajaran ilmu politik itu sendiri.

Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ilmu politik seni (crafting) perpolitikan sebuah negara atau pemerintahan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Ilmu politik tidak berdiri sendiri, tetapi banyak faktor yang membuat ilmu politik berdiri sendiri sesuai dengan ruang lingkupnya. Keberadaaan ilmu politik sudah sangat lama ada di dunia ini.

Untuk mempelajari masalah ilmu politik, kita membutuhkan beberapa metode sebagai alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ruang lingkup ilmu politik membuat ilmu politik tidak sama dengan ilmu sosial lainnya, hal itu membatasi materi-materi dalam ilmu politik agar tidak masuk ke dalam ilmu lainnya.[003]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar